REFORMA
AGRARIA JAWABAN ATAS SENGKETA AGRARIA ?
RENUNGAN
HARI TANI
Oleh:
Imam
Koeswahyono[1]
Salah satu draft undang-undang yang
diusulkan oleh pemerintah dan dibahas pada sidang Dewan Perwakilan Rakyat dan
memperoleh banyak kritik tajam dari berbagai kalangan adalah rancangan
undang-undang penanganan konflik sosial yang kini telah terbit sebagai sebuah
undang-undang.
Sebagai suatu negara hukum yang
berdaulat, membawa konsekuensi Negara Kesatuan Republik Indonesia berkewajiban
untuk: a. melindungi, memajukan, dan menegakkan hak asasi setiap warga negara
melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tentram, damai dan sejahtera lahir maupun
batin. Sebagai wujud hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta hak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya. b. bahwa benturan antar kelompok
masyarakat, suku, etnis, dan agama dapat menimbulkan konflik sosial yang
mengakibatkan terganggunya stabilitas nasional dan terhambatnya pembangunan
dalam mencapai tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. bahwa ketentuan
hukum mengenai penanganan konflik selama ini masih bersifat parsial dan reaktif
yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan dan belum bersifat
komprehensif sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat;
Konflik sosial yang selanjutnya disebut
konflik dimana terjadi benturan dengan kekerasan fisik antara dua atau lebih
kelompok masyarakat atau golongan yang mengakibatkan cedera dan/atau jatuhnya
korban jiwa, kerugian harta benda, berdampak luas, dan berlangsung dalam jangka
waktu tertentu yang menimbulkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga
menghambat pembangunan nasional dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Penanganan
konflik sebagai upaya yang dijalankan pemerintah/ pihak lain sebagai rangkaian
kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan
peristiwa sebelum, pada saat maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup
kegiatan pencegahan konflik, penghentian konflik dan pemulihan pasca konflik.
Sengaja Melupakan Sejarah
Penanganan Kasus Tanah
Berkaca dari kasus Alas Tlogo kabupaten
Pasuruan dan kasus Mesuji di Sumatera Selatan yang sesungguhnya merupakan bara
api sejak bertahun-tahun yang terpendam lantaran terjadinya konflik tenurial
(tenurial conflict) bahkan lebih jauh terampasnya hak-hak masyarakat yang salah
satu faktor penyebabnya penetapan pemberian hak yang tidak didasarkan pada
kondisi nyata di lapang, cara pandang yang melihat investasi khususnya di
sektor perkebunan menurut Undang-undang No.18 Tahun 2004 sebagai satu-satu
jalan terbaik untuk menghasilkan devisa atau pendapatan aseli daerah (PAD).
Kasus yang melibatkan Hartati Murdaya Poo
salah seorang petinggi partai yang berkuasa kini dan bupati Buol Sulawesi yang
saat ini ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sebagai pembelajaran bahwa
investasi perkebunan sejatinya sarat dengan aroma kolusi, nepotisme serta
korupsi.
Investasi hanya melihat pada satu aspek
yakni mesin penghasil uang yang sengaja mengesampingkan bagaimana peruntukan
spasialnya (spatial planning), bagaimana pertimbangan tata guna tanahnya
(landuse planning), bagaimana riwayat tanah dan hak-hak masyarakat yang
menguasai areal yang hendak ditetapkan sebagai areal hak guna usaha oleh Badan
Pertanahan Nasional. Bagaimana analisis mengenai dampak lingkungan apabila
areal yang ditetapkan sebagai kawasan pertambangan misalnya akan berubah atau
beralih fungsi dan yang terpenting bagaimana dampak lingkungan dan sosial posta
eksplorasi maupun eksploitasi terhapus karena yang difikirkan hanya sebatas
mesin pengumpul dana.
Pada sisi cara penanganan konflik sosial
khususnya konflik yang berobyek sumber daya agraria nampak stereotipikal yaitu
penggunaan cara, strategi represif melalui aparat keamanan negara, sehingga
menimbulkan korban kerusakan harta benda, musnahnya properti, luka-luka bahkan
korban jiwa. Berbagai kalangan masyarakat yang menyampaikan pendapat, usulan
agar cara-cara penanganan yang demikian segera diakhiri, dituntaskan namun
argumentasi yang diberikan sebagai jawaban dari rekomendasi itu misalnya
kegarangan, kebrutalan, anarkis sudah sangat mengancam keselamatan jiwa aparat,
nilai investasi yang bakal musnah akibat dari aksi atau tindakan yang dilakukan
oleh pencari keadilan yang meradang karena telah lama hak azasinya terenggut
secara paksa. Mereka memerlukan kepastian jawaban, berharap kejelasan hak, memimpikan
kesejahteraan seperti yang pernah didengar dari janji-janji pemimpin pusat dan
daerah dan wakil-wakilnya di lembaga legislatif.
Apakah Reforma Agraria Sebuah
Jawaban ?
Banyak para aktivis, pakar, peneliti
persoalan agraria yang menyatakan reforma agraria sebagai satu-satunya jawaban
atas kemelut sengketa agraria di negeri ini yang tak berkesudahan. Aparat yang
mengawaki hukum berbicara dari sisi normatif bahwa reforma sekadar apa yang
tertulis dalam pasal dan ayat regulasi yang sekarang diberlakukan. Lebih menyedihkan ia mengandalkan pada
pembacaan teks-teks belaka, mengabaikan variabel-variabel lain non-hukum yang
sejatinya layak dijadikan bahan pertimbangan sebelum menerbitkan putusan,
menjatuhkan hukuman.
Reforma agraria sesungguhnya tidak
sebatas pada keinginan, harapan, wacana pembuat keputusan ke dalam
rumusan-rumusan pasal-pasal, kalimat-kalimat indah pada rencana stretegik dan
rencana operasional lembaga atau departemen tanpa realisasi, nir-manifestasi.
Reforma agraria mensyaratkan aktualisasi atau implementasi dari perencanaan
yang tertata, teliti, sistem pengorganisasian yang bagus, pengawasan dan
pengendalian serta evaluasi berkelanjutan.
Regulasi yang jelas dan tegas telah
sebelas tahun ada dengan segala pasang surut pewacanaan dan desakan untuk
dilaksanakan oleh presiden yang mengawaki pemerintah yang legitimate yaitu
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.IX/ MPR/ 2001 tentang Reforma
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pertanyaan semua pihak sudah tentu
kapan pasal-pasal keketapan majelis tersebut dilaksanakan dengan
sebenar-benarnya, bukan sebatas materi-materi penataran / pelatihan yang
berulang dilakukan, tidak pula bahan diskusi di seminar/ lokakarya atau materi
tulisan literatur pakar/ aktifis yang seksi namun setelah itu sekedar
diangankan atau tragisnya dilupakan ditelan arus zaman.
Semangat hari tani telah mentradisi kini
usia telah menjelang senja, ya limapuluh dua tahun Undang-undang No.5 Tahun
1960 yang menjadi tonggak sejarah reforma agraria dengan mendobrak sistem
pengaturan agraria kolonial melalui pengarusutamaan peneguhan hak-hak mendasar
kaum tani yaitu hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan,
mengintroduksi lembaga mikro pertanian di wilayah pelosok pedesaan dan perkampungan
yang bebas dari konflik kepentingan dan korupsi.
Wahana regulasi semakin renta, ia
memerlukan suplemen vitamin penyokong spirit perubahan (spirit of reform) yaitu
ketetapan majelis itu. Semakin lama, semakin ditunda ia akan semakin layu akan
dengan mudah digilas oleh mesin kapitalis dengan investasi yang pasti buta mata
dan buta hati.
Kekuatan semangat yang tiada henti dari
pemimpin yang diawal berharap memperoleh simpati untuk diberi amanah sepatutnya
menjadikan bahwa kinerja pemerintah mengalami penurunan peringkat menurut
penilaian Freedom House dalam laporan penilaian bertajuk “Countries at The Crossroads 2012” (Kompas 19 September 2012)
sebagai lecutan spirit untuk merealisasikan reforma agraria bukan sebatas
menjalankan land reform belaka, melainkan penataan lembaga, mulai mengintegrasi
dan mengharmonisasi seluruh regulasi sumber daya yang centang perenang, meneguhkan
sistem peradilan imparsial dan khusus dalam penanganan sengketa agraria di
seluruh kabupaten/ kota diakhir masa jabatan yang akan senantiasa dikenang
sebagai pemimpin sejati yang peduli pada nasib petani.