Jumat, 15 Maret 2013

Hari Tani dan Refleksi Reforma Agraria Yang Terus Tersandera Politik



REFORMA AGRARIA JAWABAN ATAS SENGKETA AGRARIA ?
RENUNGAN HARI TANI
Oleh:
Imam Koeswahyono[1]

         Salah satu draft undang-undang yang diusulkan oleh pemerintah dan dibahas pada sidang Dewan Perwakilan Rakyat dan memperoleh banyak kritik tajam dari berbagai kalangan adalah rancangan undang-undang penanganan konflik sosial yang kini telah terbit sebagai sebuah undang-undang.  
       Sebagai suatu negara hukum yang berdaulat, membawa konsekuensi Negara Kesatuan Republik Indonesia berkewajiban untuk: a. melindungi, memajukan, dan menegakkan hak asasi setiap warga negara melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tentram, damai dan sejahtera lahir maupun batin. Sebagai wujud hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya. b. bahwa benturan antar kelompok masyarakat, suku, etnis, dan agama dapat menimbulkan konflik sosial yang mengakibatkan terganggunya stabilitas nasional dan terhambatnya pembangunan dalam mencapai tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. bahwa ketentuan hukum mengenai penanganan konflik selama ini masih bersifat parsial dan reaktif yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan dan belum bersifat komprehensif sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat;
       Konflik sosial yang selanjutnya disebut konflik dimana terjadi benturan dengan kekerasan fisik antara dua atau lebih kelompok masyarakat atau golongan yang mengakibatkan cedera dan/atau jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda, berdampak luas, dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang menimbulkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga menghambat pembangunan nasional dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Penanganan konflik sebagai upaya yang dijalankan pemerintah/ pihak lain sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa sebelum, pada saat maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup kegiatan pencegahan konflik, penghentian konflik dan pemulihan pasca konflik.
Sengaja Melupakan Sejarah Penanganan Kasus Tanah
       Berkaca dari kasus Alas Tlogo kabupaten Pasuruan dan kasus Mesuji di Sumatera Selatan yang sesungguhnya merupakan bara api sejak bertahun-tahun yang terpendam lantaran terjadinya konflik tenurial (tenurial conflict) bahkan lebih jauh terampasnya hak-hak masyarakat yang salah satu faktor penyebabnya penetapan pemberian hak yang tidak didasarkan pada kondisi nyata di lapang, cara pandang yang melihat investasi khususnya di sektor perkebunan menurut Undang-undang No.18 Tahun 2004 sebagai satu-satu jalan terbaik untuk menghasilkan devisa atau pendapatan aseli daerah (PAD).
      Kasus yang melibatkan Hartati Murdaya Poo salah seorang petinggi partai yang berkuasa kini dan bupati Buol Sulawesi yang saat ini ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)          juga sebagai pembelajaran bahwa investasi perkebunan sejatinya sarat dengan aroma kolusi, nepotisme serta korupsi.
       Investasi hanya melihat pada satu aspek yakni mesin penghasil uang yang sengaja mengesampingkan bagaimana peruntukan spasialnya (spatial planning), bagaimana pertimbangan tata guna tanahnya (landuse planning), bagaimana riwayat tanah dan hak-hak masyarakat yang menguasai areal yang hendak ditetapkan sebagai areal hak guna usaha oleh Badan Pertanahan Nasional. Bagaimana analisis mengenai dampak lingkungan apabila areal yang ditetapkan sebagai kawasan pertambangan misalnya akan berubah atau beralih fungsi dan yang terpenting bagaimana dampak lingkungan dan sosial posta eksplorasi maupun eksploitasi terhapus karena yang difikirkan hanya sebatas mesin pengumpul dana.
       Pada sisi cara penanganan konflik sosial khususnya konflik yang berobyek sumber daya agraria nampak stereotipikal yaitu penggunaan cara, strategi represif melalui aparat keamanan negara, sehingga menimbulkan korban kerusakan harta benda, musnahnya properti, luka-luka bahkan korban jiwa. Berbagai kalangan masyarakat yang menyampaikan pendapat, usulan agar cara-cara penanganan yang demikian segera diakhiri, dituntaskan namun argumentasi yang diberikan sebagai jawaban dari rekomendasi itu misalnya kegarangan, kebrutalan, anarkis sudah sangat mengancam keselamatan jiwa aparat, nilai investasi yang bakal musnah akibat dari aksi atau tindakan yang dilakukan oleh pencari keadilan yang meradang karena telah lama hak azasinya terenggut secara paksa. Mereka memerlukan kepastian jawaban, berharap kejelasan hak, memimpikan kesejahteraan seperti yang pernah didengar dari janji-janji pemimpin pusat dan daerah dan wakil-wakilnya di lembaga legislatif.
Apakah Reforma Agraria Sebuah Jawaban ?
       Banyak para aktivis, pakar, peneliti persoalan agraria yang menyatakan reforma agraria sebagai satu-satunya jawaban atas kemelut sengketa agraria di negeri ini yang tak berkesudahan. Aparat yang mengawaki hukum berbicara dari sisi normatif bahwa reforma sekadar apa yang tertulis dalam pasal dan ayat regulasi yang sekarang diberlakukan.  Lebih menyedihkan ia mengandalkan pada pembacaan teks-teks belaka, mengabaikan variabel-variabel lain non-hukum yang sejatinya layak dijadikan bahan pertimbangan sebelum menerbitkan putusan, menjatuhkan hukuman.
       Reforma agraria sesungguhnya tidak sebatas pada keinginan, harapan, wacana pembuat keputusan ke dalam rumusan-rumusan pasal-pasal, kalimat-kalimat indah pada rencana stretegik dan rencana operasional lembaga atau departemen tanpa realisasi, nir-manifestasi. Reforma agraria mensyaratkan aktualisasi atau implementasi dari perencanaan yang tertata, teliti, sistem pengorganisasian yang bagus, pengawasan dan pengendalian serta evaluasi berkelanjutan.
       Regulasi yang jelas dan tegas telah sebelas tahun ada dengan segala pasang surut pewacanaan dan desakan untuk dilaksanakan oleh presiden yang mengawaki pemerintah yang legitimate yaitu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.IX/ MPR/ 2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pertanyaan semua pihak sudah tentu kapan pasal-pasal keketapan majelis tersebut dilaksanakan dengan sebenar-benarnya, bukan sebatas materi-materi penataran / pelatihan yang berulang dilakukan, tidak pula bahan diskusi di seminar/ lokakarya atau materi tulisan literatur pakar/ aktifis yang seksi namun setelah itu sekedar diangankan atau tragisnya dilupakan ditelan arus zaman.
      Semangat hari tani telah mentradisi kini usia telah menjelang senja, ya limapuluh dua tahun Undang-undang No.5 Tahun 1960 yang menjadi tonggak sejarah reforma agraria dengan mendobrak sistem pengaturan agraria kolonial melalui pengarusutamaan peneguhan hak-hak mendasar kaum tani yaitu hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan, mengintroduksi lembaga mikro pertanian di wilayah pelosok pedesaan dan perkampungan yang bebas dari konflik kepentingan dan korupsi.
       Wahana regulasi semakin renta, ia memerlukan suplemen vitamin penyokong spirit perubahan (spirit of reform) yaitu ketetapan majelis itu. Semakin lama, semakin ditunda ia akan semakin layu akan dengan mudah digilas oleh mesin kapitalis dengan investasi yang pasti buta mata dan buta hati.
       Kekuatan semangat yang tiada henti dari pemimpin yang diawal berharap memperoleh simpati untuk diberi amanah sepatutnya menjadikan bahwa kinerja pemerintah mengalami penurunan peringkat menurut penilaian Freedom House dalam laporan penilaian bertajuk “Countries at The Crossroads 2012” (Kompas 19 September 2012) sebagai lecutan spirit untuk merealisasikan reforma agraria bukan sebatas menjalankan land reform belaka, melainkan penataan lembaga, mulai mengintegrasi dan mengharmonisasi seluruh regulasi sumber daya yang centang perenang, meneguhkan sistem peradilan imparsial dan khusus dalam penanganan sengketa agraria di seluruh kabupaten/ kota diakhir masa jabatan yang akan senantiasa dikenang sebagai pemimpin sejati yang peduli pada nasib petani.
       



      [1] Peneliti Senior dan Sekretaris Pusat Pengembangan Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang sejak 1997

CSR and Conflict Resolution,?



       CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY BASED ON ACCESS CONTROL MODEL
            AS ONE OF PLANTATION LAND DISPUTE RESOLUTION IN EAST JAVA

                                                                              by:
                                             Imam
Koeswahyono and Fachrizal Affandi

                                                                             abstract

Settlement of land disputes involving estates and public
enterprise using corporate social res-ponsibility (CSR) for the provision of  in kind at least proven to solve the problem in several land plantation estates in East Java Indonesia. Constraints that arise from the use of CSR as a land dispute is the lack of accountability and transparency of companies that could potentially lead to new conflicts. This paper deals based Access Control model through field study in Malang, Blitar municipal of CSR in the form of shares of stock (natura) for minimalizing CSR constraints in land dispute resolution estate. Estates dispute resolution strategy using the concept of CSR-based on access control which means controlling CSR mechanism can not be implemented to the whole land dispute since the management, social characteristic, risk each estate differ according to the circumstances.

Keywords:
disputes, land estates, corporate social responsibility, access control

Land Reform di Kabupaten Gorontalo dan Buku Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang Antara Teks dan Konteks



ABSTRAK
SYAIFUL BACHRI LAHAY, Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Mei 2012, Hambatan Pelaksanaan Redistribusi Tanah Objek Landreform Di Kabupaten Gorontalo, Imam Koeswahyono, S.H.,M.H; Nirwan Junus, S.H.,M.H.
      Dalam penulisan skripsi ini penulis membahas mengenai Hambatan Pelaksanaan Redistribusi Tanah Objek Landreform di Kabupaten Gorontalo. Landreform merupakan salah satu sarana untuk memperbaiki kehidupan rakyat tani dan oleh karena itu tujuan utama yang hendak dicapai adalah meliputi tujuan ekonomi, tujuan sosial politis dan mental psikologis. Untuk melaksanakan tujuan tersebut pemerintah Kabupaten Gorontalo telah melaksanakan Landreform dalam arti yang sempit salah satunya yaitu kegiatan proyek redistribusi tanah.
       Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Yuridis Empiris. Berdasarkan hasil penelitian di Desa Tabongo Barat Kecamatan Tabongo Kabupaten Gorontalo dapat diketahui bahwa jumlah penerima reistribusi tanah adalah 156 penerima redistribusi tanah. Dari 156 penerima redistribusi tanah hanya 135 penerima redistribusi tanah yang telah mendapatkan sertipikat hak atas tanah yang baru di keluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Gorontalo pada tahun 2011 dan 21 penerima redistribusi tanah belum mendapatkan sertipikat karena masih dalam proses pengurusan sertipikat. Untuk 135 sertipikat yang sudah di berikan kepada Pemerintah Desa terdapat 75 sertipikat yang sudah di berikan kepada penerima redistribusi tanah dan sisanya 60 sertipikat masih di tahan oleh Pemerintah Desa karena belum membayar biaya administrasi yang telah di tetapkan oleh pemerintah desa tabongo barat.
       Hambatan-hambatan yang terjadi yakni terlihat antusias dari masyarakat masih kurang, permohonan dari masyarakat masih rendah serta kurangnya pemahaman dari masyarakat tentang sertipikat tanah dan masyarakat juga tidak setuju dengan ketentuan masa peralihan hak tanah yang telah ditentukan oleh Badan Pertanahan Nasional/BPN yaitu masa peralihan hak atas tanah baru boleh di laksanakan 10 tahun setelah kepemilikan sertipikat. Hamabatan lainnya juga proses pengurusan sertipikat yang lambat dan masyarakat belum menyelesaikan pembayaran administrasi.

Kata Kunci : Landreform, Redistribusi Tanah


Kamis, 27 Desember 2012

CATATAN AKHIR TAHUN 2012 ATAS MASALAH POLITIK DAN HUKUM SUMBER DAYA AGRARIA

Catatan Penghujung Tahun 2012:
"Menggarisbawahi dialog di bbrp TV swasta mempersoalkan parpol dan Korupsi...menurut pandangan saya... Power tend to corrupt but absolute power corrupt absolutely, politics as the same as a ball we can predict where, precise or not precise kick and the result of our target.Thus if we trust in politics we'll become uncertainty mankind (Lord Acton UK Judge). Dalam pandangan ekstrem apalagi politik as Indonesia style seperti lagu Gangnam itu ciri spesifik...kalau lagu itu dikenal karena upaya keras membangun image sekitar 15-20 tahoen.
Namun corruption versi Indonesia mengemuka justru di era transisi (gagal yang kebablasan).Do'a dan harapan kita sudah tentu di tahun 2013 keadaan akan membaik dan penegakan hukum akan lebih memiliki daya yang tajam memberantasnya"
Catatan Problematika Kasus Sumber Daya Agraria:
Penghujung tahun 2012 tak terasa akan segera memungkasi......
Gambaran kasus sejak lama menyertai perjalanan bangsa ini, konflik tikai warga memperebutkan sumber azasi kehidupan, tapi apa yang dilakukan penguasa tak hendak menyelesaikan secara tuntas dan bermartabat,
Ada solusi namun tak hendak memperhatikan dan mencoba mengurai benang kusut itu secara sistematik....
Tawaran yang senantiasa saya ancangkan:
Pertama: selesaikan pekerjaan rumah kita mengurai saling sengkarut pengaturan sumber daya agraria dengan sistem satu ketentuan acuan.....
Kedua: selesaikan konflik kepentingan antar sektor dan antar departemen dengan menggunakan satu komando menteri koordinator bertanggung jawab langsung kepada presiden...
Ketiga: segera dibentuk peradilan ad hoc lembaga peradilan sumber daya agraria di bawah peradilan umum
Keempat: meletakkan materi pembelajaran agraria sebagai wajib nasional dengan tekanan pada alokasi waktu setidaknya dua kali seminggu dengan empat SKS muatannya adalah 50% teori dan 50 % praktik
Kelima: mendorong penelitian kolaboratif antar departemen sektoral dan perguruan tinggi untuk memetakan dan mengklasifikasikan kasus sumber daya agraria.

Jumat, 30 November 2012

Dear My Colleagues, If you interested in land/ agrarian law matters, spatial planning or land use planning law, herewith I inform you that Brawijaya University Press (UB Press) has release my fifth books the title is Land use Planning and Spatial Planning Law in Indonesia ( A Problematic Between Text and Context). Please visit our store at http://ubstore.ub.ac.id/ or buy it only IDR Rp.47.000,-Don't miss it, if you have inquiry do not hesitate to send your comments, critique or suggestion to this blog.

Jumat, 03 Agustus 2012




“RANCANGAN UNDANG-UNDANG
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan
Dan implikasi sosialNYA[1]
Oleh:
Imam Koeswahyono[2]

A.   Pengantar
       Salah satu produk hukum yang hendak diundangkan pada era Kabinet Indonesia Bersatu Ke II adalah Rancangan Undang-undang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan yang selanjutnya disingkat dengan RUU PTUP, menimbulkan pendapat pro dan kontra di masyarakat. Sudah barang tentu, berbagai pendapat pro dan kontra yang dikeluarkan oleh berbagai elemen masyarakat, masing-masing memiliki dasar alasan, argumentasi. Salah satu di antara pendapat yang menolak RUU PTUP adalah Idham Arsyad yang intinya menyatakan pembahasan RUU PTUP ini sebaiknya ditunda sampai penataan struktur agraria dilakukan dengan mendorong pelaksanaan reforma agraria[3]. Sebelumnya harian Kompas juga mewartakan bahwa RUU PTUP merupakan ancaman hak atas tanah karena rawan diselewengkan untuk kepentingan bisnis yang justru meminggirkan akses publik terhadap hasil pembangunan, sehingga dinilai tidak berpihak kepada rakyat[4].
       Dalam tulisan kali ini penulis menelaah materi RUU PTUP ini dari perspektif disiplin hukum lebih khusus telaah dari sisi struktur atau format peraturan perundangan menurut UU No.10 tahun 2004 dan keterkaitan antara hukum dan keadilan sosial (social justice).
       Mengapa nilai keadilan sosial menjadi alasan sebagai pengarusutamaan karena sejarah bangsa membuktikan terjadinya ketimpangan struktur sosial yang tidak adil (unjustice). Kedua keadilan sosial adalah:
    keadilan yang pelaksanaannya tidak lagi tergantung pada kehendak pribadi, pada kebaikan individu yang bersikap adil, tetapi sudah brsifat struktural. Artinya, pelaksanaan keadilan sosial tersebut sangat tergantung kepada penciptaan struktur sosial yang adil. Mengusahakan keadilan sosial berarti harus dilakukan melalui perjuangan memperbaiki struktur-struktur sosial yang tidak adil tersebut[5].

       Dengan demikian setidaknya terdapat permasalahan atau isu hukum penting yang diketengahkan berkenaan dengan kehadiran rancangan undang-undang tentang pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan sebagaimana ditetapkan sebagai topik tulisan ini mempersoalkan mengenai sinkronisasi dan harmonisasi rancangan undang-undang pengadaan tanah dengan peraturan perundangan yang terkait yakni Undang-undang No.5 Tahun 1960, Undang-undang No.20 Tahun 1961 berdasarkan kajian normatif menurut Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan.
      B.Permasalahan:
         1.Bagaimana filosofi dan landasan teori hukum Rancangan Undang-undang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan?
         2. Apa implikasi sosial diberlakukannya Rancangan Undang-undang Pengadaan Tanah
           Untuk Kepentingan Pembangunan dan pilihan sikap masyarakat ?

        C.Pembahasan: Sejarah Singkat, Filosofi, Nomenklatur, Prinsip/Azas
C.1. Sejarah Singkat
       Pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan sesungguhnya memiliki sejarah panjang karena telah ada sejak zaman kolonial yang dikenal dengan istilah Onteigening. Sebelum disusunnya RUU PTUP, maka wujud pengaturan aktifitas PTUP secara berturut-turut adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Thn 1975, Keputusan Presiden No.No.55 Thn 1993, Peraturan Presiden No.36 Thn 2005 serta terakhir Peraturan Presiden No.65 Thn 2006 sebagai realisasi dari amanat: pertama Pasal 6, 27, 34,40 UUPA. Kedua sebagai amanat dari UU No.39 Thn 1999 tentang HAM yang mengamanatkan bahwa sebagai konsekuensi sumber daya tanah merupakan salah satu bagian dari HAM, maka kegiatan yang bertautan dengannya (Sumber Daya tanah) harus diatur dengan undang-undang.
      Terminologi pengadaan tanah sesungguhnya tidak dikenal dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960, karena berdasarkan Pasal 27, Pasal 34 serta 40 mengenai berakhirnya hak milik atas tanah hanya dikenal perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah dan penyerahan hak atas tanah.
        Disamping itu berdasar Pasal 18 dikenal pula perbuatan hukum pencabutan hak atas tanah. Perbuatan pelepasan hak atas tanah dilakukan bilamana subyek hak atas tanah mendapatkan permintaan dari negara yang dilakukan oleh pemerintah/ pemerintah daerah yang menghendaki hak atas tanah untuk kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum (public interests) berdasarkan ketentuan Pasal 6 bahwa semua hak atas tanah berfungsi sosial.
        Sedangkan penyerahan hak atas tanah terjadi bilamana hak atas tanah selain hak milik diserahkan oleh subyek haknya kepada negara (pemerintah) sebelum jangka waktunya berakhir karena ketentuan Pasal 6 pula.  
       Implikasi hukum terkait dengan perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah maupun pelepasan hak atas tanah sama yakni hapusnya hak atas tanah dari subyek hukum yang bersangkutan dan status hukum obyek tanahnya menjadi tanah yang dikuasai oleh negara sebagaimana diatur Pasal 2 jo Pasal 4 Undang-undang No.5 tahun 1960.
       Hal terpenting dari aktifitas atau perbuatan hukum pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan adalah keperluan tanah dari pemerintah (atas nama negara) untuk aktifitas atau kegiatan yang bersifat kepentingan umum dimana tidak tersedia tanah yang dikuasai oleh negara, sehingga pemerintah atas nama negara harus melakukan kebijakan untuk mengambil tanah hak. Dalam perspektif yuridik, maka tindakan pemerintah harus berpijak pada dasar konstitusional yakni Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 dan Pasal 28 H Ayat (4) yang dinyatakan:” setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil-alih secara sewenang-wenang oleh siapapun[6]


C.2.Filosofi
       Dasar filosofi yang harus menjadi basis RUU PTUP sebagaimana pula halnya dengan UUPA adalah Pancasila khususnya sila kedua, keempat serta kelima sebagaimana telah termaktub pada konsiderans RUU PTUP huruf a dan b. Seharusnya dengan pencantuman landasan filosofi tersebut harus mempertegas bahwa kegiatan pembangunan yang dimaksud sesungguhnya diabdikan untuk kepentingan siapa, dilakukan dengan cara yang bagaimana, serta bagaimana langkah mencapai cara dimaksud. Sila–sila Pancasila sebagaimana dinyatakan oleh Notonagoro (1984) merupakan pengisi dan pengarah serta menjiwai setiap norma-norma yang hendak dirumuskan[7]  Tulisan Notonagoro yang sama menyatakan bahwa:
     “segala peraturan hukum yang ada dalam negara Indonesia mulai saat berdirinya merupakan suatu tertib hukum, ialah tertib hukum Indonesia. Dalam setiap tertib hukum diadakan pembagian susunan yang hierarkhis. Setiap peraturan perundangan yang diundangkan seharusnya merupakan penjabaran dari nilai-nilai yang terkandung dari sila-sila Pancasila yang seharusnya tiap kualifikasi setiap rumusan sila pertama dalam rangkaian kesatuan dengan sila-sila yang lainnya[8]

       Pada setiap tertib hukum esensi utamanya adalah sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan dalam tata urutan berjenjang sebagaimana dirumuskan oleh Hans Kelsen dan Hans Nawiasky, sebagai sebuah susunan yang sistematik, logis, rasional dalam kerangka suatu tertib hukum.
C.3. Nomenklatur   
      Nomenklatur yang dimaksud adalah penamaan suatu produk hukum yang dalam ini adalah RUU harus jelas sekalipun acapkali didefinisikan pada Pasal 1, namun agar tidak menimbulkan interpretasi yang beragam harus dituliskan secara jelas kegiatan pembangunan yang dimaksud meliputi aktifitas apa, bagaimana hal demikian dilaksanakan.Nampaknya RUU PTUP dapat dikatakan identik dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1976 yang mengedepankan pada pengkaburan makna kepentingan umum, sebagai kepentingan rakyat banyak. Sementara itu, RUU PTUP malah tidak memberikan definisi sama sekali apa yang dinamakan kepentingan umum, hal ini tentu akan menjadi pemicu munculnya kasus-kasus pengadaan tanah. Memasukkan kepentingan swasta sebagai kepentingan umum, merupakan kemunduran dari aspek hukum karena jelas akan menjadi cara melawan hukum pengambilan tanah oleh swasta yang berlindung di balik kepentingan umum. Padahal telah nyata bahwa kepentingan swasta tidak lain adalah kepentingan yang berorientasi pada keuntungan semata.
         C.4. Prinsip/Azas
       Asas hukum menurut Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Mertokusumo dimaknai sebagai: “ sebagian dari hidup kejiwaan kita. Dalam setiap asas hukum manusia melihat cita-cita yang hendak diraihnya, suatu cita-cita atau harapan, suatu ideal, memberikan dimensi etis kepada hukum pada umumnya merupakan suatu persangkaan[9]”.
                  Merujuk pada pandangan Maria SW Sumardjono sudah waktunya dalam kebijakan pengambilalihan tanah harus bertumpu pada prinsip demokrasi dan menjunjung tinggi HAM dengan memperhatikan hal-hal berikut:

             1.pengambilalihan  tanah merupakan perbuatan hukum yang berakibat terhadap hilangnya hak-hak seseorang yang bersifat fisik maupun non fisik dan hilangnya harta benda untuk sementara waktu atau selama-lamanya;
             2.ganti kerugian yang diberikan harus memperhitungkan: 1.hilangnya hak atas tanah, bangunan, tanaman, 2.hilangnya pendapatan dan sumber kehidupan lainnya,3 bantuan untuk pindah ke lokasi lain dengan memberikan alternative lokasi baru yang dilengkapi dengan fasilitas yang layak, 4.bantuan pemulihan pendapatan agar dicapai keadaan setara dengan keadaan sebelum terjadinya pengambilalihan;
             3.mereka yang tergusur karena pengambilalihan tanah harus diperhitungkan dalam pemberian ganti kerugian harus diperluas.
              4. untuk memeperoleh data yang akurat tentang mereka yang terkena penggusuran dan besarnya ganti kerugian mutlak dilaksanakan survai dasar & sosial ekonomi;
             5.perlu diterapkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan pengambilalihan dan pemukiman kembali;
             6. cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan harus ditumbuhkembangkan
             7. perlu adanya sarana menampung keluhan dan dan menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam proses pengambilalihan tanah[10]

       Sebagai suatu panduan agar maksud sebagaimana diutarakan Sumardjono di muka, maka dalam kontek sistem hukum dicantumkan azas/ prinsip agar bilamana di dalam sistem hukum terjadi sengketa, maka azas bertugas untuk menyelesaikan.
       Berkenaan dengan kegiatan pengadaan tanah, maka menurut Boedi Harsono terdapat enam azas hukum pengadaan tanah yakni:
1.    Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya;
2.    Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa;
3.    Cara memperoleh tanah yang sudah dihaki seseorang harus melalui kata sepakat antara para pihak yang bersangkutan;
4.    Dalam keadaan yang memaksa, jika jalan musyawarah tidak dapat menghasilkan kata sepakat, untuk kepentingan umum, penguasa dalam hal ini Presiden diberi kewenangan oleh hukum untuk mengambil tanah yang diperlukan secara paksa;
5.    Baik dalam acara perolehan atas dasar kata sepakat, maupun dalam acara pencabutan hak, kepada pihak yang telah menyerahkan tanahnya wajib diberikan imbalan yang layak;
6.    Rakyat yang diminta menyerahkan tanahnya untuk proyek pembangunan berhak untuk memperoleh pengayoman dari pejabat birokrasi[11]

Ditinjau dari dasar konstitusional Pasal 28 H Ayat (4) Undang-undang Dasar 1945, maka perbuatan hukum pengadaan tanah baik yang dilakukan untuk kepentingan pemerintah atas nama negara dengan motif untuk kepentingan umum apalagi untuk kepentingan swasta harus menghormati hak perorangan sepenuhnya. Penghormatan hak perorangan atau individual merupakan sebuah keniscayaan yang wajib diberikan oleh negara khususnya kepada warga negara yang aset atau miliknya hanya sebidang tanah tersebut. 
Hal inilah merupakan persoalan esensial sepanjang sejarah berdirinya negara Indonesia khususnya setelah diundangkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975 tentang Pembebasan Hak Atas Tanah tidak saja memiliki karakter hukum sebagai sebuah produk hukum yang cacat dan seharusnya batal demi hukum karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 maupun Undang-undang No.5 Tahun 1960. Disamping itu merujuk pada pandangan Jimly Asshidiqie yang dinyatakannya:
hal itu tercermin dalam pengertian negara hukum yang tercantum pada Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi negara Indonesia adalah Negara Hukum. Dalam paham negara hukum ini diutamakan adalah hukum sebagai suatu kesatuan sistem bernegara. Sistem yang paling tinggi kekuasaannya bukanlah orang, tetapi sistem aturan yang dinamakan hukum. Hukumlah yang sesungguhnya berdaulat, bukan orang.Artinya dalam faham kedaulatan hukum ini, rakyat juga bukanlah pemegang kekuasaan tertinggi yang sebenarnya. Pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah hukum, yang pengaturannya pada tingkat puncak atau tertinggi tercermin dalam konstitusi negara yaitu “the rule of constitution”. Dalam kaitan itu di negara kita, hukum yang mempunyai kedudukan tertinggi adalah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana tidak boleh ada hukum dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengannya[12]

Berkiblat pada pandangan Jimly sebagaimana diuraikan di muka, dikaitkan dengan  produk hukum peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah sejak diberlakukan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975 sampai Keputusan Presiden No. 65 Tahun 2006 mengingkari hakikat negara hukum sebagaimana telah disepakati telah termaktub pada Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


  [1]Makalah Disampaikan pada DISKUSI PUBLIK “MENOLAK PENGESAHAN RUU PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN PEMBANGUNAN” Hari/Tanggal Senin, 25 Juli 2011 Tempat Pondhok Pesantren Tebuireng Jombang, Diselenggarakan Oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

       [2] Peneliti dan Sekretaris Pusat Pengembangan Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 1997 – sekarang

       [3]Periksa Idham Arsyad, Sesat Pikir RUU Pengadaan Tanah, KOMPAS, Jum’at 18 Maret 2011, hlm.6

       [4] Kompas Ancaman Hak Atas Tanah, Jum’at 11 Maret 2011 hlm.4, periksa pula KOMPAS., Kebijakan Agraria Lebih Buruk Dari Orde Baru, Senin, 18 Juli 2011, hlm.3 terdapat pernyataan Arif Wibowo dari 7000 kasus pertanahan di Indonesia, 70%-nya merupakan sengketa antara rakyat dengan pemerintah atau swasta yang sampai sekarang tidak terselesaikan. Debat mengenai berapa sesungguhnya jumlah kasus pertanahan amat beragam masing-masing lembaga yakin akan keakurasian data BPN misalnya mengekspose 7.491 kasus dimana 4.851 merupakan sengketa, 858 merupakan konflik serta 2.052 menjadi perkara di lembaga peradiilan periksa Joyowinoto.,2007., Mandat Politik Konstitusi dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, Kuliah Umum, di Universitas Gadjah Mada, 22 November,Yogyakarta, hlm. 33

       [5] Ulli Parulian Sihombing dkk (Perumus).,2009., Mengajarkan Hukum Yang Berkeadilan, Cetak Biru Pembaruan Pendidikan Hukum Berbasis Keadilan Sosial, Cetakan Pertama, ILRC & OSI, Jakarta,hlm.19 - 20
       [6]    Imam Koeswahyono., Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Bagi Umum, dalam Jurnal Konstitusi PPK-FH Univ.Brawijaya Vol I No.1 Agustus 2008, hlm.34-36

       [7] Ibid.hm.20-21 bandingkan pandangan Notonagoro yang menyatakan nilai Pancasila merupakan nilai universal dan tetap bilamana dibandingkan pandangan John Rawls A Theory of Justice,Cambridge Harvard University Press, 2008: masyarakat dikatakan baik bilamana didasarkan dua prinsip: pertama fairness menjamin kebebasan maksimal semua anggota dan veil ignorance yang hanya membenarkan ketidaksamaan sosial dan ekonomi apabila ketidaksamaan itu dilihat dalam jangka panjang justru menguntungkan mereka yang kurang beruntung

        [8] Notonagoro.,1979.,Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Pidato Dies Natalis Ke I Universitas Pantjasila, Djakarta Cetakan Kedelapan, Pantjuran Tudjuh, Djakarta, hlm.20 dan 33

       [9] Sudikno Mertokusumo.,1996., Penemuan Hukum , Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta, hlm. 8

       [10] Maria SW Sumardjono.,2005., Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Edisi Revisi, Buku Kompas, Jakarta, hlm.87-91

      [11] Oloan Sitorus dan Dayat Limbong,.2004.,Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, hlm.11 - 13
       [12] Jimly Asshiddiqie.,2009., Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Pertama,Rajawali Press, Jakarta,hlm.108